The Worst Thing in Life, Come Free to Us
Mari merayakan keresahan dan kegelisahan bersama-sama, percayalah bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Biarkan kali ini bumi beristirahat dan mengambil alih kendali dengan caranya 🍃
Photo by Martin Adams on Unsplash
Ternyata manusia cuma butuh 1 wabah untuk membuat sejarah dan peradaban baru. Ternyata bumi cuma butuh 1 makhluk mengerikan tak kasat mata untuk membuat kota yg tak pernah tidur jadi sepi dan diliputi ketakutan. Dan kita yang selama ini selalu berkejar-kejaran dengan waktu, bisa dengan cepat memiliki habbit baru karena sebuah virus yang merebak.
Sudah hampir 2 bulan sejak kasus COVID-19 ditemukan pertama kali di Indonesia. Dan sudah ada beberapa campaign serta kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, instansi ataupun lembaga dalam menyikapi keadaan ini. Tapi seperti biasa, ekspektasi tak selalu sejalan dengan realita.
Banyak sekali efek domino yang dirasakan sejak virus ini masuk ke Indonesia, baik efek sosial maupun efek ekonomi. Yuk kita senggol dulu soal WFH (work from home) Sob!
Photo by Nelly Antoniadou on Unsplash
Nggak semua orang bisa WFH, karena beberapa pekerjaan memang harus stay di lapangan bukan stay at home. Nggak semua perusahaan mampu mengambil kebijakan WFH, karena kepentok dengan berbagai hal krusial yang juga menyangkut keberlangsungan para pekerja itu sendiri. Bagi yang WFH-pun ternyata nggak selalu menyenangkan, karena nggak semua punya rumah yang nyaman yang mendukung kegiatan dia untuk bekerja. Bahkan beberapa justru merasa stress karena harus berada di dalam situasi rumah yang tidak kondusif.
Dan yang paling rentan adalah para operator dan buruh kecil yang ketika WFH, otomatis mereka berstatus “dirumahkan”. Gaji mereka dipotong, atau sama sekali nggak mendapatkan gaji - dan itu ada banyak sekali di sekitar kita. Apa kabar THR? Entahlah.
Bisnis f&b mengalami dampak yang sangat signifikan, karena kebijakan WFH dan juga physical distancing yang harus dipatuhi. Mau tidak mau mereka tutup, dan salah satu cara untuk tetap survive adalah dengan inisiatif jemput bola lewat take away only atau delivery order dengan embel-embel gratis ongkir. Itu Pun harus dibumbui dengan promo, bundling, paket dan diskon. Karena sejak Corona ini masyarakat jadi lebih takut keluar rumah, dan sekaligus lebih punya banyak waktu dan tenaga untuk memasak dan menyiapkan kebutuhan mereka sendiri. Lalu bagaimana teman-teman f&b yang tidak berafiliasi dengan online market seperti gofood dan grabfood, tapi warungnya harus tutup? Nggak kebayang gimana struggle nya mereka.
Dengan tidak meng-lockdown, setidaknya ekonomi masih bisa sedikit berjalan meski tertatih-tatih. Bayangkan jika lockdown terjadi, berapa banyak hal buruk yang akan menimpa saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan? Berapa banyak tindakan kriminal yang terjadi dengan sumber awal kesulitan ekonomi? Berapa banyak mereka yang menemui ajal karena kelaparan?
Photo from Shutterstock
Bahkan disaat seperti ini pun, sudah banyak saudara-saudara kita yang harus dipaksa jadi pengangguran. Karena perusahaan tidak punya jalan keluar lagi untuk menyelamatkan kondisi keuangan. Hotel dan tempat wisata juga mengalami hal serupa. Saat larangan untuk berkumpul diberlakukan, maka tempat wisata harus tutup dan hotel-hotel menjadi sepi. Sedangkan banyak sekali saudara kita yang bergantung hidupnya dari sana.
Mereka adalah para driver, penjual makanan di tempat wisata, tour guide, agen-agen tiket di terminal, tukang parkir, dan jangan lupakan beberapa startup yang berada di sektor agen perjalanan online yang sering kita tunggu promonya. Saat wisata mati - merekalah yang pertama kali terkena imbasnya.
Dan wahai para Freelancer yang jobnya sangat bergantung dari pihak kedua bahkan ketiga. Dulu sehari-hari di rumah saja, namun dengan deadline yang bikin mata nggak boleh merem. Kini? banyak dari mereka di rumah aja yang semakin susah buat merem karena makin sedikitnya job yang melipir ke arah mereka. Sedangkan kebutuhan keluarga dan tetek bengeknya masih menjadi tanggungan utama.
Tidak selesai di situ saja, masifnya berita yang terkadang nggak berimbang dan tidak dicerna dengan baik. Ternyata mampu membuat perilaku sosial di masyarakat ikut terdampak. Dari tenaga medis yang dicibir, dikucilkan bahkan di usir dengan alasan tidak mau tertulari virus. Padahal beraktifitas dengan hazmat lengkap dalam durasi waktu yang panjang, ditambah dengan kekhawatiran akan kesehatan diri mereka sendiri - sudah lebih dari cukup membuat mereka bekerja dalam tekanan yang nggak terbayangkan. Yang paling mereka butuhkan adalah dukungan, dan juga semangat dari sekitar. Bukan sindiran atau penolakan yang alasannya sangat tidak masuk akal. Dan jangan lupakan warga yang menolak jenazah COVID-19, ketika jadi mayatpun masih di anggap musuh.
_ _ _
Banyak sekali hal yang terjadi dan berubah sejak adanya pandemi ini. Yang mau nggak mau membuat kita harus cepat beradaptasi untuk nggak ter-destruksi. Dan sayangnya tidak ada satu orangpun yang bisa memastikan kapan ini akan berakhir, yang pastinya makin menambah daftar panjang keresahan kita - sekaligus ke-apatisan dari beberapa pihak.
Satu hal yang mungkin bisa kita syukuri dan bisa kita benahi saat waktu terasa luang seperti ini adalah hubungan kita dengan keluarga dan pencipta. Saat kita akhirnya tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan, betapa berharganya dekat dan merasa aman bersama keluarga tercinta. Dan membuat kita sadar, bahwa tempat terbaik bergantung atas segala permasalahan dunia adalah bersandar pada Sang Pemilik Segala. Yang mungkin sebelumnya sering kita lupa dan hanya teringat di sela-sela sisa waktu kita.
Oh ya, ada yg bilang ini waktu yang tepat untuk mengasah kreatifitas. Menggali kembali bakat-bakat terpendam yang siapa tau luput dan tertimbun oleh rutinitas-rutinitas sebelumnya. Lihat saja aplikasi online yang tadinya penuh dengan joget-joget dan challenge ala-ala anak millenial. Kini juga jadi tempat berbagi resep masakan, sekaligus pamer kegiatan yang dilakukan selama di rumah aja. Mungkin kalian berminat?
Respiro Journal
Mei, 2020